Gajah Sumatera – Taksonomi, Morfologi, Habitat, Sebaran, Status Konservasi
Gajah Sumatera – Gajah yakni satwa yang mampu dijumpai nyaris di seluruh kawasan dunia. Benua Asia memiliki spesies gajah dengan karakteristiknya sendiri dan terbagi kembali ke banyak sekali negara-negara. Salah satunya yaitu Gajah Sumatera yang sesuai dengan namanya ialah spesies endemik Indonesia di Pulau Sumatera.
Secara fisik, Gajah Sumatera mempunyai bentuk badan yang lebih kecil dibanding spesies khas Asia lainnya. Sayangnya satwa endemik satu ini mulai mengalami penurunan populasi akhir campur tangan manusia seperti penebangan hutan dan perburuan liar. Maka dari itu, ketika ini berbagai upaya konservasi terus digalakkan untuk menjaga kelancaran spesies ini.
Mengenal
Gajah Sumatera
Gajah Sumatera ialah satu dari sekian sub-spesies Gajah Asia seperti Gajah Kalimantan, Gajah India, dan Gajah Thailand. Hanya saja spesies satu ini memiliki tubuh yang relatif lebih kecil, yakni tinggi tubuh sekitar 3 meter dan berat tubuh sekitar 5 ton, sedangkan kerabatnya bisa melampaui 5 meter dengan berat di atas 7 ton.
Penamaan spesies ini pertama kali diberikan pada tahun 1847 dengan nama Elephas maximus sub-spesies sumatranus. Selain ukuran badan yang kecil serta letak habitatnya, tidak banyak yang berlainan dari Gajah Sumatera dibanding jenis gajah yang lain. Spesies ini juga masuk ke dalam kelompok mamalia dengan menyusui anaknya.
Taksonomi
Berikut ini ialah taksonomi atau penjabaran ilmiah dari Gajah Sumatera.
Kingdom | Animalia |
Filum | Chordata |
Kelas | Mammalia |
Ordo | Proboscidea |
Famili | Elephantidae |
Genus | Elephas |
Spesies | Elephas maximus |
Subspesies | Elephas maximus-sumatranus |
Status
Kelangkaan
Sebagai
satwa khas Pulau Sumatera, keberadaan Gajah Sumatera merupakan aset yang sungguh
berharga. Hanya saja sikap manusia yang kurang bertanggung jawab menjadikan
spesies ini dinyatakan masuk ke dalam satwa dengan populasi sangat rendah di
Indonesia.
Bahkan status kelangkaan Gajah Sumatera oleh International Union for Conservation of Nature atau IUCN Red List menyatakan bahwa spesies ini berstatus critically endangered atau kritis sekitar 10 tahun kemudian. Menanggapi hal ini, pemerintah Indonesia lalu mengambil berbagai uapaya untuk menghalangi punahnya satwa endemik ini.
Disebutkan
dalam Undang Undang No.5 Tahun 1990 wacana Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
dan Ekosistemnya bahwa Gajah Sumatera dan Gajah Kalimantan yakni jenis gajah
yang harus dilindungi. Aturan tersebut juga disokong dengan eksistensi
Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 1999 ihwal Pengawetan Jenis Tumbuhan dan
Satwa.
Total populasi Gajah Sumatera yang mampu ditemui pada habitat aslinya di hutan Pulau Sumatera diperkirakan cuma sekitar 2.400 sampai 2.800 ekor. Padahal jumlah ini telah mencakup populasi secara keseluruhan di daratan Sumatera. Sensus gajah tersebut terakhir diambil pada tahun 2007 silam dan diyakini sudah mengalami penurunan ketika ini.
Sebagai pola, populasi di Riau yang merupakan salah satu benteng konservasi untuk Gajah Sumatera terus menurun setiap tahun. Pada tahun 2007 populasi Gajah Sumatera di tempat ini kurang lebih cuma 210 ekor. Jumlah ini dimengerti mengalami penurunan sebesar 84% dalam kurun waktu 24 tahun.
Ada beberapa faktor yang menjadi pemicu menurunnya populasi Gajah Sumatera hingga rampung kritis di alam. Berikut ini yakni beberapa faktor tersebut, adalah:
1.
Perburuan Liar
Perburuan
liar menjadi aspek utama penurunan populasi Gajah Sumatera. Kegiatan ini tidak
lepas dari status gading gajah selaku komoditas bernilai jual tinggi dalam
jual beli internasional, sehingga perburuan terhadap gajah dimaksudkan untuk
mengambil gadingnya kemudian dijual kembali.
Oleh
para kolektor, gading gajah mampu dimasak kembali menjadi aksesoris yang
bernilai seni tinggi. Apalagi realita bahwa derajat sosial seseorang juga
dilihat dari jenis aksesoris yang dimilikinya. Makara tak aneh kalau
banyak pembeli yang masih mencari gading gajah dalam perdagangan internasional
walaupun telah diilegalkan.
Oleh Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora atau CITES yang merupakan kesepakataninternasional untuk mengendalikan perdagangan spesies liar, Gajah Sumatera masuk ke dalam satwa dengan status Appendix I. Status ini diberikan terhadap jenis spesies yang dihentikan untuk diperdagangkan dalam bentuk apapun.
2.
Penebangan Liar dan Kerusakan Alam
Maraknya
kegiatan penebangan liar yang dijalankan di hutan selaku habitat orisinil Gajah
Sumatera juga menjadi pemicu berkurangnya populasi satwa ini. Akibatnya gajah
menjadi kehilangan tempat hidup, terpojok mencari pemberian, dan kemungkinan
terburuk ialah mati.
Dampak
yang ditimbulkan dari aktivitas tersebut tidak cuma sampai di situ. Bencana
alam seperti banjir dan tanah longsor juga merupakan efek dari limbah
penebangan liar. Apabila musibah terjadi, maka alam telah dipastikan akan
mengalami kerusakan yang juga berimbas pada kehidupan Gajah Sumatera.
3.
Pembukaan Lahan Hutan
Tanpa disadari sebetulnya pemerintah juga turut andil dalam kepunahan Gajah Sumatera dengan mengeluarkan kebijakan pembukaan lahan hutan selaku lokasi perkebunan. Luas areal hutan yang beralih fungsi tersebut terus mengalami kenaikan, sehingga habitat gajah menjadi semakin sempit.
Padahal Gajah Sumatera diketahui selaku satwa yang sungguh menggantungkan hidup pada ekosistem sekitarnya. Satwa ini kerap berpindah daerah ketika memerlukan kuliner, sehingga membutuhkan habitat dengan luas yang memadai. Apabila tidak, maka efek yang ditimbulkan tidak hanya berimbas pada gajah, tetapi kehidupan di sekitarnya.
Ketika luas hutan yang menjadi habitat alami sudah menyempit, maka Gajah Sumatera akan sering memasuki areal perkebunan dan pemukiman warga. Lagi-lagi manusia niscaya akan berusaha menghentikan hal itu, salah satu yang paling kerap dilakukan yaitu memberi racun yang bisa membunuh gajah.
Morfologi
Gajah Sumatera
Secara morfologi, Gajah Sumatera juga memiliki tubuh yang khas mirip spesies gajah yang lain, salah satunya ialah gading. Hanya saja gajah yang memiliki gading cuma gajah jantan, sedangkan gajah betina tidak memilikinya. Ukuran gading Gajah Sumatera Jantan berkisar antara 20 sampai 30 cm.
Di tengah-tengah gading tersebut terdapat belalai yang mempunyai kurang lebih 4.000 jaringan otot dan berfungsi untuk mengambil minuman dan makanan. Pada bab ujung belalai terbentuk satu jari yang sekaligus menjadi pembeda, alasannya adalah Gajah Afrika mempunyai dua jari di ujung belalainya.
Gajah Sumatera juga mempunyai pendengaran berskala besar dan lebar, walaupun masih kalah lebar dibanding telinga Gajah Afrika. Telinga yang memiliki flek merah muda ini berfungsi mengembangkan telinga gajah sekaligus membantu untuk menurunkan suhu tubuh. Tepat di bab atas kepala Gajah Sumatera terdapat dua tonjolan kecil.
Kulit
Gajah Sumatera memiliki ketebalan sekitar 2 sampai 4 cm yang ditumbuh
rambut-rambut halus. Apabila diraba, rambut tersebut terasa agresif di tangan.
Ukuran kaki gajah muda sekitar 18 hingga 22 cm, sedangkan ukuran untuk gagi
gajah sampaumur sekitar 35 sampai 44 cm.
Telah disebutkan sebelumnya, bahwa ukuran badan Gajah Sumatera relatif kecil. Tinggi badan gajah jantan hanya sekitar 3,2 meter dengan bobot badan paling berat 5 ton. Sedangkan gajah betina sedikit lebih kecil dengan tinggi tubuh sekitar 2,4 meter dan bobot tubuhnya bisa meraih 3,7 ton.
Habitat
Pada
awalnya Gajah Sumatera memiliki tingkat adaptasi yang tinggi terhadap aneka macam
jenis ekosistem di sekitarnya. Akan tetapi aneka macam keadaan yang disebabkan
oleh acara manusia memaksa spesies ini untuk hidup hanya pada kawasan yang
cukup sempit. Alhasil kemampuan adaptasinya pun mulai menurun.
Kini spesies dengan nama Elephas maximus ini pada umumnya hidup di area dataran rendah yang berlembah. Kawasan mirip ini biasanya memiliki pasokan air mencukupi untuk memenuhi keperluan gajah. Walau begitu tidak jarang juga gajah yang ditemui di dataran dengan ketinggian 1.700 meter di atas permukaan laut (dpl) seperti hutan Gunung Kerinci.
Habitat
hidup gajah juga dipengaruhi oleh keadaan cuaca pada dikala ini. saat demam isu
kemarau, gajah akan berpindah ke daerah yang rendah untuk mencari minuman dan
kuliner. Akan tetapi ketika ekspresi dominan penghujan tiba, gajah justru melaksanakan hal
sebaliknya dengan berpindah ke kawasan dataran tinggi.
Sebagaimana
disebutkan sebelumnya bahwa Gajah Sumatera adalah satwa yang sangat senang
melakukan perpindahan. Maka dari itu luas hutan untuk dihuni spesies ini paling
tidak berkisar antara 32,4 kilometer persegi sampai 166,9 kilometer persegi.
Itupun masih bergantung pada keterssediaan kuliner, tenpat reproduksi, dan
daerah berlindung.
Dalam
satu hari Gajah Sumatera mampu melakukan perjalanan sejauh 7 kilometer pada
keadaan cuaca stabil. Ketika musim kemarau dan ekspresi dominan buah jaraknya akan
bertambah menjadi 15 kilometer dalam satu hari. Kegiatan berpindah atau
penjelajahan ini dijalankan secara berkelompok dengan rute tetap dalam setahun
perjalanan.
Selain itu spesies ini juga diketahui sebagai satwa nokturnal, yaitu hewan aktif pada malam hari. Maka dari itu pada umumnya aktivitasnya dikerjakan saat insan sudah tidur. Hal ini juga sekaligus berfungsi untuk menolong gajah dalam menyingkir dari kontak langsung dengan manusia.
Sebaran Gajah Sumatera
ada tujuh provinsi yang daerahnya menjadi habitat alami dari Gajah Sumatera dan tersebar di sepanjang daratan di Pulau Sumatera. Ketujuh provinsi tersebut adalah Daerah Istimewa Aceh, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, dan juga Lampung.
Dari ketujuh provinsi tersebut, Riau merupakan lokasi yang menjadi sentra konservasi Gajah Sumatera. Sementara itu Provinsi Lampung juga berperan selaku lokasi untuk melaksanakan pemantauan kepada acara dari spesies satu ini dengan memanfaatkan dua taman nasional.
Kedua taman nasional tersebut yaitu Taman Nasional Way Kambas atau TNWK yang berlokasi di Kecamatan Labuhan Ratu, Kabupaten Lampung Timur dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan atau TNBBS yang daerahnya meliputi Kabupaten Lampung Barat hingga Kabupaten Kaur di Provinsi Bengkulu.
TNBBS sendiri adalah areal hutan hujan tropis yang berada pada dataran rendah. Kawasan ini selain berfungsi melindungi kelestarian hutan juga menjadi lokasi konservasi Gajah Sumatera. Apalagi daerahnya yang cukup luas adalah 365.000 hektar dan ialah hutan paling besar ketiga di Pulau Sumatera.
Makanan
Gajah Sumatera
Dengan kondisi badan yang besar, bahkan di Indonesia merupakan satwa darat terbesar, Gajah Sumatera memerlukan asupan kuliner dalam jumlah banyak. Satwa ini mengonsumsi dedaunan, rumput, buah, rotan, ranting, akar, kulit batang pohon, dan aneka macam jenis tumbuhan budidaya.
Total asupan makanan yang dapat disantap satwa ini dalam sehari bisa mencapai 200 sampai 300 kilogram. Kebutuhan makanan tersebut lazimbergantung dari berat tubuh atau kurang lebih 5 sampai 10 persen dari total bobot tubuhnya.
Sementara untuk minuman, Gajah Sumatera juga memerlukan cairan yang banyak. Air ini dibutuhkan untuk memperlancar proses pencernaannya. Dalam satu hari gajah mampu meminum setidaknya 20 sampai 50 liter air di mana sekali hisap mampu pribadi meminum 9 liter air.
Perkembangbiakan
Gajah Sumatera
Gajah Sumatera betina akan memasuki fase kematangan reproduksi pada usia 8 hingga 12 tahun. Selanjutnya pada usia 10 hingga 12 tahun gajah betina sudah mulai produktif dalam berkembangbiak. Sedangkan gajah jantan saat meraih era produktif lazimnya akan menunjukkan perilaku agresif pada suasana tertentu.
Sikap
agresif gajah jantan lazimnya terjadi pada siklus sekali dalam rentang waktu 3
hingga 5 bulan dan berlangsung selama 1 hingga 4 pekan. Perilaku ini akan
mengeluarkan sekresi kelenjar berwarna hitam yang mampu memberi rangsangan.
Kelenjar ini berada di area tampang gajah atau lebih tepatnya di area sekitar
telinga dan mata.
Gajah betina akan mengandung anaknya selama kurang lebih 18 sampai 23 bulan atau nyaris mencapai 2 tahun. jumlah anak yang dilahirkan pun biasanya hanya satu atau dua saja. Gajah betina akan menyusui anaknya hingga usia dua tahun hingga anak bisa mencari makan sendiri.
Dua
tahun setelah berhenti menyusui anaknya atau empat tahun semenjak melahirkan,
barulah gajah betina mampu hamil kembali. Rentang waktu yang cukup lama,
sehingga wajar kalau populasi gajah terus menurun bila diburu secara liar.
Setidaknya gajah hanya bisa melahirkan satu atau dua anak dalam waktu enam
tahun dengan sekali kehamilan.
Waktu kawin gajah tidak terbatas, artinya mampu terjadi kapan saja sepanjang gajah menginginkannya. Hanya saja frekuensi perkawinan akan berkembangdan kian sering ketika ekspresi dominan penghujan datang. Pada ketika itu gajah bahkan biasa melakukan perkawinan secara berbarengan.
Upaya
Konservasi
Menghadapi ancaman kepunahan terhadap populasi Gajah Sumatera, banyak pihak yang turut andil mengambil bagian dalam upaya konservasi. Bukan cuma forum pemerintahan, melainkan juga lembaga non-pemerintah. Semua pihak tersebut bahu-membahu berupaya melindungi populasi gajah dari aktivitas liar yang membahayakan.
Saat ini kondisi Gajah Sumatera telah kritis di alam dengan total populasi hanya sekitar 2.500 ekor saja. Padahal satwa ini memiliki tugas penting kepada ekosistem hutan di kawasan Sumatera, lebih tepatnya ialah salah satu spesies payung, alasannya adalah jangkauan daerah jelajahnya luas sehingga mampu mempunyai dampak baik bagi habitat yang dilaluinya.
1.
Upaya Konservasi oleh Pemerintah
Ada banyak upaya yang dikerjakan pemerintah untuk mempertahankan kelangsungan hidup Gajah Sumatera. Satu di antaranya adalah membentuk Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam atau BBKSDA yang bertugas untuk menangani seluruh spesies yang terancam punah di Indonesia termasuk Gajah Sumatera.
BBKSDA sendiri mempunyai petugas khusus dan pawang untuk melakukan pengawasan dan penjagaan terhadap kegiatan Gajah Sumatera. Contohnya dikala ada gajah yang masuk ke area pemukiman atau kebun warga, pawang gajah dan petugas akan mengendarai gajah serta melakukan berbagai kegiatan untuk mengembalikan satwa ini hutan.
Di Provinsi Riau sendiri terdapat Hutan Talang yang difungsikan selaku areal konservasi Gajah Sumatera. Sayangnya upaya konservasi ini terbentur dengan kebijakan pemerintah untuk membangun jalan lingkar di tempat tersebut. Akibatnya luas daerah hutan yang mampu dimanfaatkan untuk konservasi menjadi sempit.
2.
Upaya Konservasi oleh Lembaga non-Pemerintah
Lembaga non-pemerintah yang mempunyai peran besar dalam upaya konservasi Gajah Sumatera atau spesies terancam punah secara biasa yakni World Wild Fund of Nature atau WWF. Lembaga ini telah mengerahkan bantuannya untuk melestarikan Gajah Sumatera semenjak tahun 2004 silam.
Bahkan pada tahun yang sama WWF juga ikut andil kepada penetapan kawasan Taman Nasional Tesso Nilo di Provinsi Riau. Berawal dari situlah Provinsi Riau lalu ditetapkan sebagai Pusat Konservasi Gajah Sumatera berdasarkan keputusan Permenhut No. Tahun 2006.
Tidak
berapa usang lalu WFF juga membentuk golongan patroli yang disebut Flying
Squad. Tim berisikan sembilan orang pawang dan empat gajah terlatih.
Adapun tugas dari tim ini yakni untuk melakukan pengamanan terhadap gajah liar
yang tidak sengaja masuk ke kawasan perkebunan dan pemukiman penduduk.
Keberadaan
tim Flying Squad memperlihatkan hasil yang cukup nyata. Kerugian yang
terjadi akhir konflik insan dengan gajah terus menurun. Apalagi sebelumnya
bagi insan, gajah dianggap sebagai hama yang tidak jarang berujung pada
pembunuhan terhadap mamalia besar ini.
Lima tahun sejak Flying Squad dibentuk WWF kembali menjalin koordinasi dengan pihak lain dengan tujuan memasang GPS Satellite Collar di tempat Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) dan Taman Nasional Way Kambas (TNWK) yang terletak di Provinsi Lampung.
Pemasagan
GPS tersebut dimaksudkan untuk mengawasi pergerakan Gajah Sumatera. Jadi bila
gajah sudah nyaris memasuki daerah penduduk, petugas dapat segera melakukan
upaya pencegahan. Dengan begitu pertentangan yang mampu muncul dapat diredam.
Tidak
hingga di situ saja, WWF juga terus melaksanakan penelitian untuk mengamati
persebaran, populasi, dan relasi darah pada Gajah Sumatera. Penelitian ini
dimaksudkan untuk mengenal korelasi spesies ini dengan spesies lainnya, baik
antar individu maupun kalangan.
Upaya Menghindari Konflik
Hidup
berdampingan dengan satwa liar seperti Gajah Sumatera memang bukan hal yang
mudah. Manusia harus siap untuk menghadapi kondisi seperti kawanan gajah
melintasi area pemukiman dan hasil kebun yang rusak akhir disantap gajah. Pada
situasi mirip ini tidak ada yang bisa disalahkan.
Dari
sudut pandang lain keadaan ini bekerjsama juga disebabkan ulah manusia sendiri
yang menggunakan habitat gajah untuk dijadikan pemukiman ataupun lahan
perkebunan. Maka dari itu supaya konflik tidak terjadi, ada baiknya jikalau manusia
melakukan beberapa upaya seperti berikut ini.
- Hindari membeli lahan yang berdekatan dengan habitat Gajah Sumatera. Jangan lupa juga untuk memeriksa apakah lahan tersebut ialah jalur perjalanan gajah atau bukan. Jika iya, maka semestinya jangan membeli lahan tersebut.
- Bersihkan rumah khususnya pekarangan dari semak belukar secara rutin. Pasalnya gajah menyukai area yang teduh mirip semak belukar. Perhatikan juga untuk tidak memelihara binatang penjaga seperti anjing, alasannya adalah gajah mempunyai kecenderungan untuk mengejar-ngejar binatang yang mengeluarkan teriakan padanya.
- Bangun menara pengawas di sekeliling lahan perkebunan atau lahan pertanian untuk mengawasi jika ada pergerakan tidak seharusnya yang mendekat. Ada baiknya juga untuk membuat parit di sekitar menara dan lahan perkebunan supaya gajah tidak mampu masuk. Beberapa orang bahkan memasang tegangan listrik juga.
- Nyalakan lampu minyak di sekeliling lahan perkebunan dan pertanian. Dengan begitu gajah akan mengira bahwa kawasan tersebut dihuni oleh insan, sehingga enggan untuk mendekat.
- Bakar campuran kotoran gajah, gemuk, dan cabai sebagai bahan alami mengusir kawanan gajah dengan aroma yang dihasilkan. Menghasilkan bunyi mercon juga mampu dilaksanakan selama berada dalam jarak kondusif semoga gajah tidak terluka.
0 Response to "Gajah Sumatera – Taksonomi, Morfologi, Habitat, Sebaran, Status Konservasi"
Post a Comment